Celebrities Sex Tape Exposed!

SERIKAT BURUH

Patung Emas

Kita butuh sesuatu untuk kita sembah. Sesuatu yang bisa kita sentuh. Sesuatu yang bisa kita rasakan. Sesuatu yang tampak agung. Sesuatu yang kehadiran-Nya begitu dekat dengan kita...”, usul salah seorang dari mereka.

... Kami ahli dalam memahat batu. Kamilah yang dahulu memahat batu untuk mendirikan istana-istana Fir’aun, piramid-piramid, dan patung Sphinx. Dan kami sanggup membuat patung untuk kita sembah!”, seorang perwakilan dari para pemahat batu menyatakan kesediaan mereka untuk berkontribusi dalam proyek tersebut.

Kemudian mereka pun mulai bergotong-royong, saling bahu-membahu dalam proyek pembuatan patung sembahan tersebut. Dan setelah beberapa lama, patung sembahan itu pun berdiri kokoh di tengah-tengah mereka.

Mereka memandang takjub patung sembahan tersebut dengan penuh kekaguman. Rasa bangga mengalir dalam hati mereka semua. Tidak ada hal yang mustahil untuk diwujudkan apabila mereka mau saling bekerja sama. Namun tiba-tiba terdengar celetuk salah seorang dari mereka, “Patung itu tampak begitu hebat, namun Dia tidak berkilau! Mari kita lapisi Dia dengan emas, maka Dia akan tampak lebih hebat daripada patung-patung milik Fir’aun!”

Mari kita lapisi Dia dengan emas! Mari kita lapisi Dia dengan emas!...”, teriak mereka hampir bersamaan. Dengan sukarela, mereka masing-masing menyumbangkan sebagian emas-emas milik mereka demi mewujudkan sebuah tujuan mulia bersama. Beberapa orang menyumbangkan perhiasan-perhiasan emas mereka. Beberapa orang yang lain meyumbangkan koin-koin emas, hasil upah mereka sewaktu bekerja kepada kerajaan Fir’aun. Dan mereka melebur emas-emas itu, lalu digunakan untuk melapisi patung sembahan tersebut.

Setelah patung berlapis emas itu selesai dibuat, mereka lalu tampak sangat bersuka-cita dan menyelanggarakan perayaan selama berhari-hari. Perayaan kemenangan. Perayaan kemerdekaan. Perayaan atas harapan-harapan besar terhadap kehidupan baru mereka di masa-masa mendatang.



Murka

Musa sangat terkejut dan marah, melihat pesta orang-orang Israel itu. “Mereka sangatlah kurang ajar dan tidak tahu berterima-kasih! Aku sudah berhari-hari, di atas gunung, memahat tulisan pada batu, hingga letih sekujur tubuhku; sedangkan mereka justru asik berpesta-pora!”, geram Musa.

Dilihatnya pula patung emas yang berdiri megah di antara perayaan tersebut, dan semakin memuncaklah amarah Musa. Dalam alam bawah sadarnya, Musa mengakui bahwa hasil pahatannya itu, dari segi kualitas, bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan hasil pahatan orang-orang Israel.

Memang, orang-orang Israel itu terdiri dari para pekerja keras dan beberapa di antara mereka adalah orang-orang yang ahli di bidang pekerjaannya masing-masing. Sedangkan Musa, dari sejak kecil dia terbiasa hidup di dalam lingkungan pergaulan istana, dengan segala fasilitas dan kemudahannya. Musa mungkin hanyalah ahli di dalam memimpin pemberontakan, dan itu pun hanyalah sebatas memimpin para pengecut dalam melarikan diri – pengungsian yang gegabah dan samasekali tidak direncanakan dengan matang.

Musa bergegas menghampiri patung emas itu, lalu dihantamkannya patung tersebut berkali-kali dengan lempengan batu ‘tulisan Tuhan’. Patung itu tetap berdiri utuh, sedangkan ‘tulisan Tuhan’ buatan Musa itu justru patah hingga menjadi beberapa bagian.



Perang Saudara

Barang siapa yang berada di pihakku, maka Yahweh akan memenangkan mereka! Dan barang siapa yang berbalik menentangku, maka Yahweh akan membinasakan mereka!”, teriak Musa memberi ultimatum.

Lalu, para pengungsi itu terbelah menjadi dua kelompok. Beberapa orang yang takut dengan ‘kutukan’ Musa (atau gertakan Musa), bergabung kembali di belakang Musa. Kemudian Musa memerintahkan para pengikutnya untuk segera memisahkan diri dan membuat jarak terhadap kelompok para penyembah patung berhala tersebut.

Jumlah mereka cukup banyak, kita harus selalu waspada dan mempersenjatai diri kita apabila kelak sewaktu-waktu mereka akan berencana menyerang kita semua!”, Musa coba menghasut dan menakut-nakuti para pengikutnya agar mereka selalu bersiaga untuk menghadapi skenario terburuk apapun, skenario yang telah dirancang oleh Musa.

Hingga pada saatnya tiba, Musa berkata kepada para pengikutnya, “Yahweh telah memerintahkan kita untuk membinasakan mereka semua! Dan jangan sisakan walau hanya seorang saja dari mereka untuk tetap hidup!”



Dongeng

Kakek, mohon ceritakan pada kami, bagaimana dahulu Musa mampu membebaskan bangsa kita dari perbudakan Fir’aun... Ceritakan pula pada kami, bagaimana dahulu Fir’aun beserta semua pasukannya telah ditenggelamkan oleh Tuhan...”, pinta anak-anak kecil itu kepada seorang kakek tua. Sang kakek menghela nafasnya sejenak dan kemudian mulai menceritakan dongeng-dongeng tersebut kepada bocah-bocah lugu tersebut.

Semua para sesepuh mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa-masa penuh pergolakan tersebut. Semua kenangan pahit yang tidak akan pernah bisa terlupakan. Bahwa dahulu mereka adalah terdiri dari para buruh yang bekerja kepada kerajaan Fir’aun. Mereka dahulu hidup berkecukupan. Namun kini, kehidupan mereka terasa lebih buruk daripada kehidupan para budak sekalipun. Mereka sebenarnya adalah budak-budaknya Musa. Memang, selama bertahun-tahun mereka diperbudak oleh angan-angan hampa si Musa yang licik itu. Bahkan mereka sudi membantai saudara-saudari mereka sendiri – laki-laki, perempuan, dan anak-anak kecil – demi Musa dan Yahweh-nya itu. Tangan-tangan mereka pernah kotor berlumuran dengan darah, dan pula mereka punya andil dan peranan dalam semua kebodohan ini!

Selama bertahun-tahun mereka melarikan diri dari kejaran tentara-tentara Fir’aun. Musa pandai sekali berceramah, namun dia sebenarnya tidak lebih dari seorang yang paranoid! Mereka semua memang pengecut! Jika Fir’aun telah dikalahkan, lalu mengapa mereka masih melarikan diri? Mengapa mereka selalu bersembunyi? Mengapa mereka selalu menghindar dari setiap daerah kekuasaan Fir’aun? Mengapa mereka selalu hidup berpindah-pindah?

... Ketika semua orang-orang Israel tiba di seberang, maka laut yang terbelah itu lalu kembali menyatu, dan menenggelamkan Fir’aun beserta seluruh pasukannya...”, tutur sang kakek membual. Membual untuk yang kesekian-kalinya. Entah sampai kapan mereka harus terus-menerus hidup dalam kebohongan?



Tanah Yang Dijanjikan

Musa adalah orang gila! Bertahun-tahun kita hanya berputar-putar saja tanpa tujuan di gurun ini!”, protes seseorang peserta dalam pertemuan rahasia itu. “Itu betul!... Musa adalah orang gila yang super-paranoid!... Setiap kali Musa merasa telah melihat tentara Fir’aun, dia memerintahkan kita untuk mengambil jalan memutar!... Bahkan tidak jarang Musa merasa telah mendengar derap langkah pasukan-pasukan Fir’aun dalam lamunannya, dan lalu segera memerintahkan kita untuk bersiap-siap melarikan diri atau bersembunyi!... Musa sungguh-sungguh takut kepada Fir’aun!...”, protes yang lainnya. Sebenarnya Musa lebih takut jika kondisinya sekarang, yang serba prihatin, akan diketahui oleh pihak kerajaan Fir’aun. Musa sangat malu dengan semua kenyataan pahit ini.

Bagaimana jika kita bunuh saja dia?!”, usul seorang peserta dalam pertemuan. “Apakah kau ingin membunuhnya di depan mereka semua?!”, tanya yang lain. “Bukan, maksudku bukan begitu. Kita akan bunuh dia di pertemuan rahasia berikutnya!”, jawabnya.

Beberapa hari kemudian, terdengarlah suatu kabar baik. “Wahai orang-orang Israel, tanah yang dijanjikan itu sudah tampak di depan mata! Lihatlah ke arah sana!”, teriak seseorang laki-laki sambil menunjuk ke sebuah lokasi di kejauhan. Semua orang bersuka-cita, melompat-lompat, tersenyum dan tertawa riang. Namun tiba-tiba suasana menjadi hening sesaat, ketika ada yang berceletuk, “Dimanakah Musa? Seharian ini aku tidak melihat Musa...”

Lalu salah seorang sesepuh spontan menjawab, “Tugas Musa telah selesai... Dia telah kembali kepada Tuhan-nya...”

Musa memang tidak pernah sampai ke tanah yang dijanjikan itu. Dan tidak ada seorang pun yang benar-benar mengetahui bagaimana caranya dia menghilang, hingga saat ini.





No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...